Jumat, 06 Juni 2014

Cricula Trifenestrata, Penghasil Sutera Emas

Cricula trifenestrata merupakan serangga penghasil sutera alam yang belum
didomestikasi, sehingga dikenal sebagai ulat sutera liar. Serangga ini memiliki penyebaran
yang luas, meliputi Asia terutama Asia Tenggara, bahkan di Indonesia ditemukan beberapa
spesies yang endemik di beberapa pulau (Nassig et al. 1996). Akhir-akhir ini C.


trifenestrata telah dimanfaatkan oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia untuk
menghasilkan serat sutera yang dikenal sebagai sutera emas, sebab kokon sebagai sumber
serat sutera dari C. trifenestrata memiliki warna asli kuning keemasan. Oleh karena itu,
maka nilai jual serat sutera C. trifenestrata lebih tinggi dibandingkan sutera alam lainnya.
Di kalangan masyarakat Bali dan Jogyakarta kokon C. trifenestrata dimanfaakan pula
untuk membuat berbagai aksesoris pelengkap pakaian wanita seperti bros, anting, dan
hiasan tumah tangga seperti kap lampu, wall paper, dll. Kokon tersebut semuanya
diperoleh dari alam.

Ketersedian bahan baku dari alam menjadi kendala utama untuk pemenuhan
kebutuhan akan serat sutera maupun kokon. Informasi mengenai C. trifenestrata, masih
sangat terbatas, padahal potensi pengembangan serangga ini sangat besar. Seekor betina
dapat menghasilkan telur ± 300. Serangga ini bersifat bivoltin, yaitu; setiap tahunnya dapat
berlangsung dua kali siklus (dua generasi) dengan durasi perkembangannya yang relatif
pendek, yaitu hanya sekitar dua bulan per siklus.

 
C. trifenestrata bersifat polifagus. Tanaman inangnya adalah alpukat, jambu mete,
kayu manis, dan kedondong. Oleh karena itu penanganan yang baik mengarah pada
domestikasi, diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan serangga ini. Penanganan
dan pemanfatan suatu sumber daya alam akan efisien dan efektif jika ditunjang oleh
pengetahuan yang lengkap mengenai sumber daya alam tersebut. Dengan demikian, kajian
mengenai morfometri, siklus hidup dan kajian molekuler sangat dibutuhkan untuk
pengembangan pemanfaatkan C. trifenestrata secara berkelanjutan.

Kajian morfometri dan siklus hidup ulat sutera liar C.trifenestrata dilakukan pada
bulan Desember 2008 sampai dengan April 2010. Pengamatan dilakukan pada tiga lokasi
disekitar kampus IPB Darmaga, yaitu di Lapangan Parkir Gedung Graha Widya Wisuda
(GWW), Kompleks Makam Bara, dan Kandang C Fapet. Pengamatan dilakukan terhadap
durasi dan timing siklus hidup, viabilitas setiap tahap perkembangan, morfologi, anatomi,
dan pengukuran sembilan parameter morfologi, yaitu berat kokon (BK), berat kokon tanpa
pupa (BKTP), panjang kokon (PK) lebar kokon (LP), berat pupa (BP), panjang pupa (PP),
lebar pupa (LP), panjang dada (PD), bentang sayap (BTGS), serta faktor fisik dan biologi
lingkungan selama penelitian. Data dianalisis secara deskriptif, kecuali data morfometri
menggunakan analisis diskriminan. Hasil penelitian menujukkan bahwa C. trifenestrata
membutuhkan waktu 51.0 ± 7.3 hari untuk setiap satu siklus hidup, pada siklus hidup I
ukuran populasi sangat kecil dibandingkan siklus hidup II. Viabilitas terbesar terdapat pada
fase pupa dan viabilitas terkecil terdapat pada fase larva instar I. Kematian terbesar
disebabkan oleh kekurangan pakan atau predator.

Semua karakter morfometri berpengaruh nyata terhadap pengelompokan berdasarkan
lokasi sub populasi pada setiap fase perkembangan. Besarnya ketepatan prediksi
pengelompokan untuk parameter pupa, kokon dan imago berturut-turut: 93,6% , 83,3%,
dan 92,7% dengan pembeda terbesar masing-masing: BK, BP, dan BTGS. Beberapa
karakter morfometri sama antar sub populasi, yang ditunjukkan dengan daerah tumpang
tindih pada plot pengelompokan. Pada fase kokon dan pupa terdapat daerah tumpang tidih
antara sub populasi Kandang C dengan sub populasi Kompleks Makam Bara, tetapi pada
fase imago, ketiga sub populasi memiliki daerah tumpang tindih. Hal ini berarti bahwa
beberapa ciri berkembang bersama antar sub populasi, yang mengindikasikan masih
adanya aliran gen antar sub populasi. Sub populasi di Kandang C memiliki daerah tumpang
tindih yang lebih luas dibandingkan sub populasi lainnya.
Karakterisasi gen fibroin ulat sutera liar C. trifenestrata dilakukan untuk mendeteksi
nukleotida dan asam amino diagnostik pada serangga tersebut. Penelitian dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut: DNA total diekstrak dari sampel yang berasal dari sub
populasi Kabupaten Bogor, Purwakarta dan Bantul, masing-masing dua individu setiap
sub populasi. Sumber DNA total adalah kelenjar sutera. Prosedur ekstraksi dilakukan
dengan metode standar dengan beberapa modifikasi (Duryadi, 1993). DNA total yang
diperoleh diamplifikasi dengan metode PCR menggunakan primer khusus untuk
Saturniidae yang dirancang menggunakan software Primer3. Primer tersebut terdiri atas
primer forward FFCt 5'-CATAACCATGAGAGTAATAGCC-3’, dan primer reverse RFCt
5'-CTGCTGAGTCTGATCCGTAA-3' dengan produk PCR sebesar 986 bp. 
Hasil amplifikasi dirunutkan, kemudian dikarakterisasi mengenai jumlah dan tipe nukleotida dan asam amino penyusun protein fibroinnya. Hasil karakterisasi kemudian dibandingkan
dengan sekuen gen fibroin dan asam amino ulat sutera lain yang tersedia pada GenBank.
Dari hasil perbandingan tersebut terdeteksi nukleotida dan asam amino diagnostik
(penciri) C. trifenestrata. Runutan nukleotida maupun asam amino selanjutnya
dipergunakan untuk menyusun filogeni kekerabatan antar serangga penghasil serat sutera.
Hasil perunutan diperoleh sekuen gen fibroin parsial yang terdiri atas daerah
pengkode ekson I sepanjang 42 nukleotida (14 asam amino), intron (113 nukleotida) dan
sebagian daerah pengkode ekson II sepanjang 831 nukleotida (277 asam amino). Hasil
perbandingan dengan spesies lain dari famili yang sama (Saturnnidae) dan famili lain
(Bombycidae) menunjukkan bahwa ekson I terkonservasi sesama C. trifenestrata, tetapi
sangat beragam dibandingkan dengan spesies lain. Namun demikian sesama Saturniidae
masih dalam satu cluster dan berbeda dengan Bombycidae. Nukleotida ke 25 (C), dan ke
35 (T) dari ekson I serta asam amino ke 12-nya (valin) bersifat diagnostik bagi spesies C.
trifenestrata. Nukleotida ekson II mengkode 277 asam amino yang didominasi oleh asam
amino alanin (27.08%) dan glisin (21.66%). Alanin membentuk polyalanin dengan motif
berupa: (A)2S(A)2, (A)3SS(A)3, (A)2GSAS(A)3, (A)7SAAGSSGRGLGGYDGSVDGGYGSGSGS(
A)10, (A)10GSSGRGIGGYDGFVDGGYGSGSGS(A)12,
(A)12GSSGRGLGGYDGWV-DDGYGSGSGS(A)12. Dibandingkan dengan spesies lain,
intron C. trifenestrata, lebih pendek ukurannya yaitu 113 nukleotida. Nukleotidanya
sangat beragam antar spesies ulat sutera yang dibandingkan, baik dengan famili sama
(Saturniidae) maupun dengan famili berbeda (Bombycidae) dan lebih dari 70% berupa A
dan T (AT rich).

Kajian keragaman genetik populasi ulat sutera liar Cricula trifenestrata berdasarkan
gen Cytochrome C oxidase subunit I (COI) dilakukan dengan menggunakan sampel yang
sama dengan kajian keragaman genetik gen fibroin. Hal yang berbeda hanya pada jumlah
sampel dan primer yang dipergunakan untuk amplifikasi. Lima belas sampel yang
diperoleh dari tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Purwakarta dan Bantul diekstraksi
DNAnya, kemudian diamplifikasi menggunakan primer yang didesain khusus untuk gen
COI famili Saturniidae, yaitu: primer forward 5'-TGATCAAATTTATAATAC-3' dan
primer reverse 5'-GTAAAATTAAAATATAAAC-3' (Mahendran et al. 2006). Seperti
halnya dengan gen fibroin, amplikon COI dirunutkan dan dikarakterisasi jumlah dan tipe
basa nukleotida, jumlah dan tipe asam amino penyusun protein COI-nya. Hasil
karakterisasi dibandingkan dengan sekuen gen COI ulat sutera lain yang tersedia pada
GenBank. Hasil perbandingan tersebut terdeteksi nukleotida dan asam amino diagnostik
untuk spesies C. trifenestrata. Runutan nukleotida maupun asam amino selanjutnya
dipergunakan untuk menyusun filogeni kekerabatan antar serangga penghasil serat sutera.
Hasil perunutan parsial gen COI C. trifenestrata berukuran 595 nukleotida (nt),
yang menyandi 198 asam amino. Tidak ada perbedaan nukleotida intra spesies C.
trifenestrata, akan tetapi menunjukkan 23,7% keragaman dengan ulat sutera lainnya.
Nukleotida dari gen ini didominasi oleh timin dan adenine (±70%). Berdasarkan 595
nukleotida tersebut, telah dideteksi 25 situs diagnostik yang dapat dipergunakan sebagai
pengenal bagi spesies C. trifenestrata. Dari 198 asam amino yang dirunutkan, hanya 10%
asam amino beragam antar spesies ulat sutera famili Saturniidae dan Bombycidae. Asam
amino ke 107 (valin) dan ke 138 (treonin) merupakan asam amino diagnostik bagi C.
trifenestrata.
Kata kunci: Ulat sutera liar, C. trifenestrata, morfometri, gen fibroin, gen COI, nukleotida
dan asam amino diagnostik.
sumber: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/49778/2011sur1_Ringkasan.pdf?sequence=3
Sutra atau sutera merupakan serat protein alami yang dapat ditenun menjadi tekstil. Jenis sutra yang paling umum adalah sutra dari kepompong yang dihasilkan larva ulat sutra murbei (Bombyx mori) yang diternak (peternakan ulat itu disebut serikultur). Sutra memiliki tekstur mulus, lembut, namun tidak licin. Rupa berkilauan yang menjadi daya tarik sutra berasal dari struktur seperti prisma segitiga dalam serat tersebut yang membuat kain sutra dapat membiaskan cahaya dari berbagai sudut.
Pemintalan benang sutra dari kepompong ulat sutra.
"Sutra liar" dihasilkan oleh ulat selain ulat sutra murbei dan dapat pula diolah. Berbagai sutra liar dikenali dan digunakan di Cina, Asia Selatan, dan Eropa sejak dahulu, namun skala produksinya selalu jauh lebih kecil daripada sutra ternakan. Sutra liar berbeda dari sutra ternakan dari segi warna dan tekstur, serta kepompong liar yang dikumpulkan biasanya sudah dirusak oleh ngengat yang keluar sebelum kepompong tersebut diambil, sehingga benang sutra yang membentuk kepompong itu sudah terputus menjadi pendek. Ulat sutra ternakan dibunuh dengan dicelup ke dalam air mendidih sebelum keluarnya ngengat dewasa, atau ditusuk dengan jarum, sehingga seluruh kepompong dapat diurai menjadi sehelai benang yang tak terputus. Ini membuat sutra bisa ditenun menjadi kain yang lebih kuat. Sutra liar biasanya juga lebih sukar dicelup warna daripada sutra ternakan.
Empat jenis ngengat sutra ternakan yang terpenting.
Sutra juga dihasilkan oleh beberapa jenis serangga lain, namun hanya jenis sutra dari ulat sutra yang digunakan untuk pembuatan tekstil. Pernah juga dijalankan kajian terhadap sutra-sutra lain yang menampakkan perbedaan dari aspek molekul. Sutra dihasilkan terutama oleh larva serangga yang bermetamorfosis lengkap, tetapi juga dihasilkan oleh beberapa serangga dewasa seperti Embioptera. Produksi sutra juga kerap dijumpai khususnya pada serangga ordo hymenoptera (lebah, tabuhan, dan semut), dan kadang kala digunakan untuk membuat sarang. Jenis-jenis arthropoda yang lain juga menghasilkan sutra, terutama arachnida seperti laba-laba. Untuk kain sutra dari jaring laba-laba atau disebut Qmonos (sarang laba-laba dalam bahasa Jepang) diklaim memiliki kekuatan tiga kali lebih kuat dari Kevlar (bahan yang biasa digunakan untuk rompi anti peluru) serta lima kali lebih kuat dari baja.
 http://www.wormspit.com/

Kamis, 05 Juni 2014

JUTE
 
Jute merupakan sejenis tumbuhan berserat yang dari kulit pohonnya dibuat tali untuk membuat karung/goni.
Produksi
Jute plant.gifYute adalah tanaman tadah hujan yang tidak memerlukan banyak pupuk dan pestisida. Produksi utama terkonsentrasi di India dan di sebagian Bangladesh, terutama Bengal. Serat yute berasal dari batang dan jaringan halus (kulit luar) pada tumbuhan yute. Serat tersebut petama-tama diekstrak dengan cara dipilin menjadi serat-serat yang terpisah. Cara pemrosesan tersebut dilakukan dengan membundel batang yute dan merendamnya dalam air yang mengalir. Ada dua jenis bentuk pilinan: batangan dan pita. Setelah proses pemilinan selesai, kemudian disiangi. Wanita dan anak-anak biasa yang mengerjakan ini. Pada proses penyiangan, bagian yang tak berserat kemudian dikupas, kemudian bagian yang berserat dicungkil dan diambil dari dalam batang.[1] India, Pakistan, China adalah penghasil yute terbesar, sedangkan Britania Raya, Spanyol, Côte d'Ivoire, Jerman dan Brazil juga mengimpor tali yute dari Bangladesh. India adalah penghasil yute terbesar di dunia. 

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malvales
Famili: Malvaceae
Genus: Corchorus
Spesies: C. capsularis
Nama binomial
corchorus capsularis                                                                      


KAPAS 

Kapas (dari bahasa Hindi kapas, sendirinya dari bahasa Sanskerta karpasa[1]) adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis Gossypium (biasa disebut "pohon"/tanaman kapas), tumbuhan 'semak' yang berasal dari daerah tropika dan subtropika. Serat kapas menjadi bahan penting dalam industri tekstil. Serat itu dapat dipintal menjadi benang dan ditenun menjadi kain. Produk tekstil dari serat kapas biasa disebut sebagai katun (benang maupun kainnya).
Serat kapas merupakan produk yang berharga karena hanya sekitar 10% dari berat kotor (bruto) produk hilang dalam pemrosesan. Apabila lemak, protein, malam (lilin), dan lain-lain residu disingkirkan, sisanya adalah polimer selulosa murni dan alami. Selulosa ini tersusun sedemikian rupa sehingga memberikan kapas kekuatan, daya tahan (durabilitas), dan daya serap yang unik namun disukai orang. Tekstil yang terbuat dari kapas (katun) bersifat menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas (menyerap keringat).

Produksi
Sekarang ini kapas diproduksi di banyak tempat di dunia, termasuk  Eropa, Asia, Afrika, Amerika, dan Australia, menggunakan tanaman kapas yang telah dipilih jadi dapat menghasilkan lebih banyak fiber. Pada 2002, kapas ditumbuhkan di 330.000 km² ladang, 47 miliar pon kapas mentah seharga 20 miliar dolar AS ditumbuhkan tahun tersebut.


RAYON VISKOSA
Rayon atau kain rayon adalah kain yang dibuat dari serat hasil regenerasi selulosa. Serat yang dijadikan benang rayon berasal dari polimer organik, sehingga disebut serat semisintesis karena tidak bisa digolongkan sebagai serat sintetis atau serat alami yang sesungguhnya. Dalam industri tekstil, kain rayon dikenal dengan nama rayon viskosa atau sutra buatan. Kain ini biasanya terlihat berkilau dan tidak mudah kusut. Serat rayon memiliki unsur kimia karbon, hidrogen, dan oksigen.
Digunakan :
Kain rayon digunakan secara luas dalam industri garmen untuk bahan pakaian dan perlengkapan busana, seperti daster, jaket, jas, pakaian dalam, syal, topi, dasi, kaus kaki, dan kain pelapis sepatu. Kain jenis ini juga dipakai sebagai kain alas dan pelengkap perabot rumah tangga (seprai, selimut, tirai) dan alat-alat kebutuhan industri (kain untuk perabot rumah sakit, benang ban), serta barang kesehatan pribadi (pembalut wanita dan popok). Di Indonesia, kain rayon merupakan bahan baku untuk industri kain dan baju batik.
 Contoh: